Kunikmati laut bintang di sudut kota
Di bukit bintang dengan gemerlapnya
Altar singasana ratu malam pada gaungan pesta
Cahayanya indah...
Mampu memberi ketenangan
Pada penikmat pengagum rengkuh keteduhan
Seperti aku puan jalang penyuka malam,,,
Malam yang tak senaif siang
Malam yang tak pernah bertopeng dari kenyataan.
Sama seperti malam itu kawan...
Malam yang kunamai sebagai kencan berbasis pencerahan, malam awal serta akhir perjumpaanku denganmu.
Di bukit bintang ini...
Kita bernarasi kehidupan...
***
Lama sudah ternyata kau tak bertabik kabar denganku, dan entah kenapa aku sungguh amat kehilangan kawan berkesah ria, aku tak paham betul apa yang ku rasakan saat kita berjarak. Yang ku tau aku selallu beromantisme malam pada kloase bukit bintang. Semenjak kau titipkan narasi panjang tentang hidupmu di malam itu kepada ku.
Ah!...
Sungguh nelangsa kawan...
Ketika aku ingin kencan santai malam itu terulang kembali, kita terbentang keberjarakan. Hingga aku harus merapal sepi pada bukit bintang ini...
Aku ingat!
Saat dalam perbincangan kita, kamu bergumam lirih, dan ku cermati betul galaumu di tengah riuh irama nada-nada binatang malam di bawah potongan mozaik bulan. Hingga ku tergugah mengusik galaumu dengan menanyakan di mana kuliah mu.
Dahimu berkerut, sembari meaminkan batang rokok di tangan kau pun menjawab santai. “ aku tak percaya sekolah. Apa lagi kuliah, aku tak minat!... sekolah hanya menciptakan pikiran liar jadi jinak. Kritis sedikit di bungkam fasilitas” lugas jawabmu dengan senyum sinis.
Aku tersenyum mendengar jawabmu. Hingga ku lanjutkan bercecar logika tentang pendidikan formal saat ini. Tentang bagaimana instutusi pendidikan mencipta intlektual instan dan serba tersistem oleh kepentingan golongan mayoritas kelas atas. Sistem yang menindas kaum minorotas seperti kamu, dan kaum yang di lemahkan oleh realitas hidupnya.
Sempat kau tak bergeming. Hanya menikmati rokok dengan kepulan asap yang kau hirup. Lalu kau apresiasikan dengan nafas panjang menikmati candu nikotin itu.
Hingga kau kembali menemukan kata pada jelajah alam fikirmu itu. Ku lihat kau membolak-balikan kartu namaku yang sengaja ku beri untukmu, kau mengamati dengan cermat betul. Dan sengaja mengeja nama yang tertera dalam kartu nama itu “afifah afra M.pd” seraya menyeringai sisnis kau ber ucap.” Ku kira namamu lebih cantik jika tampa gelar ini, bukankah gelar hanya legitimasi untuk agitasi? Yang penting ilmu bisa membumi dan merakyat. Gelar hanya di pakai mereka yang mengaku mendidik namun hanya beronani dengan abtraksi ilmiah. Hingga akhirnya menjadi mafia project yang menguntungkan kaum-kaum elit serta para penguasa. Tahukah kau?! Bahwa pendidikan kita hanya menciptakan robot-robt yang di siapkan untuk di pekerjakan?” kau menatapku lekat.seraya kau mencari kedalaman pemahamanku pada pendidikan masa kini.
Namun saat itu. Aku tak peduli. Ranumku masih menjelajah ingatan-ingatan pendidikan yang kurasa pada kuliah dulu. Hingga aku pun menjawab “pendidikan kita memang hanya di arahkan untuk memenuhi tuntutan lapangan kerja. Hingga mencipta manusia berotak administrasi total dan akhirnya menutup perkembangan dimensi lain yang peserta didik miliki. Merampas kebebasan memilih... karena harus mengondisikan dirinya dengan kondisi lapangan kerja yang ada.”
Mendengar lugas narasi pendidikan dariku. Kulihat senyummu mengembang. Namun mampu menggelisahkan nuraniku. Yang ku sadari betul kekhatamanku pada realitas pendidikan hanyalah terjebak pada system.
Ku pandangi lagi kartu nama yang sempat kau sindir saat itu. Dan sampai saat ini aku terbelenggu dalam gelar yang ada. Sedangkan kau, masih konsisten dengan resistensi local baner perjuanganmu. Hingga kau sengaja mengasingkan diri dari kekasih pujaan hatimu “ratu mala sari sri ayu dewi ningsih” seorang putri keraton yang menolak berpacaran dengan pemuda anti kemapanan sepertimu. Hingga gemuruh batinku bergumam saat kau pernah ceritakan tentang dirinya “ah!... kenapa juga kau kencani aku puan jalang yang suka berkawan dengan malam. Malam yang tak pernah bertopeng seperti siang, malam yang tak pernah naif seperti dirimu. Cinta pertamamu mungkin takkan pernah mati. Tapi tahukah kau cinta sejati akan menghidupkan yang mati?”
Ya...
Seperti jiwamu yang diam-diam mengusik rasa kagumku atas kesatrianmu yang terpancar dalam mata yang seperti elang itu. Kau mengusik hatiku yang tak pernah terpahami, hingga aku nelangsa saat tak menemukanmu di buki bintang ini.
Kembara yang kau tempuh demi memasifkan hati nuranimu, sejenak mengusik ingatanku kala itu. Ketika kau katakan “kita harus hati-hati dengan mahasiswa yang hanya kritis namun tidak berkonsisten dengan praksisnya. Yang muaranya hanya di jadikan perpanjangan tangan bagi kelompok-kelompok para penguasa dalam menjalankan misinya”
Kau tau sahabatku?!...
Di kota ini pun demikian, sungguh sangat berjejal sekali aktifis kritis yang kau sebutkan. Namun ketika kekritiskan mereka di hadapkan dengan para penguas yanga ada kedekatan pribadi, mereka diam bahkan sengaja mawas diri untuk mengawasi oragan manapun yang mau mengkritisi penguasa itu. Ya... dan kicauannya hanya di jadikan nina bobo kesadaran masa rakyat dalam privatisasi penguasa itu.
***
Tak teras sudah lima bulan ini ku hitung pasca pertemuan terakhir kita di bukit bintang. Belum sudah ku nikmati laut bintang. Tiba-tiba kau mengirim surat pesan pendek “hidup dengan idealisme dan prinsip memang penuh aral, hidup dalam kesepian jiwa tampa ujung, tenggelam dalam keluasan batin. Kadang aku cape sahabat,,, mungkin aku lelah”
Nabiel sahabatku...
Aku terkejut.. kesadaranku tersentak, kita memang sama-sama lelah melawan sistem yang kian mengasingkan orang-orang marjinal. Tapi aku yakin. Yang maha kuasa selalu menyertai kita (orang-orang yang konsisten dengan suara hatinya) aku rentangkan pandanganku pada kota di laut bintang ini. Ku rasa saat ini aku merasakan ketakutan, ketakutan yang kucipta dalam diriku sendiri...
Aku takut... takut kita tak bisa berkesah ria kembali.
Namun ketakutan ini bukan karena keberjarakan kita, tapi aku takut. Takut ketika kita berjumpa kau tak lagi seperti yang ku kenal sama seperti pada saat bertemu. Aku takut kau terkalahkan oleh relaitas hidup yang semakin menjelma seperti monster dan kemungkinan akan memakan idelismemu sendiri.
Nabiel sahabat ku...
Kukirim tabik hangat dalam pesan singkat untukmu...
“jangan pernah berhenti pecahkan teka-teki malam. Jangan pernah berhenti pecahkan teka-teki keadilan. Karena ku tau konsistensimu tak perlu untuk ku pertanyakan serta jangan pernah jengah menghadapi logika kesadaran”
***
Sudah satu bulan ini kau tak berkirim kabar padaku setelah sms saat itu. Tahukah kau?! Betapa ku cemas memikirkan keberadaanmu? Telfon SMS pun tak pernah tersambung. Hingga aku mencipta rindu kembali pada bukit bintang dari sorotan mozaik purnama ini.
Kau pernah mencoba ingin tahu kenapa aku sebut diriku sebagai puan jalang sang suka berkawan dengan malam, kenapa aku ingin lepas dari konstruk, menjadi sesosok karakter merdeka dan melepas arus norma. Norma yang di sebut kaum jawa akronim wanita adalah wani di toto (berani di bentuk). Hingga ku jelaskan pula. Jangan pernah takut akan malam, malam tidak berkamuflase topeng seperti siang”
Ku lihat semburat takjub pada raut wajahmu, mata indahmu lekat memandangku. Tatapmu hangat... lebih hangat dari suasana malam itu...
Ah!... nabiel sahabatku...
Aku lelah merejam rindu ini...
***
Headlen koran berita rakyat satu bulan yang lalu... di kota setempat.
Pemuda bernama nabiel al-khafi billah, di dapati tergletak tampa nyawa di tengah ladang sawah desa bukit indah. Saksi mata mengungkapkan, dia menjadi amuk masa karena tuduhan sebagai PKI
No comments:
Post a Comment