“sayang sudah pagi... kamu tak ingin pulang?!” dia membangunkanku dengan manja. Mencium keningku membelai rambut panjangku. Hangat rasanya dalam kemanjaan yang menyapa di pagi itu.
Ku tengok matahari mulai menyinari dari jendela kamar.
” Aku masih kangen kamu mas, bukankah hari ini kamu akan pergi?!”
“iya sayang. Aku harus kembali ke bandung. Besok ada mata kuliah”.
“bisakah satu hari lagi kamu disini?!” dalam mata yang memelas aku memohon dengan rengekan.
“suamimu akan mencarimu?!”
“tidak!... abah akan pulang dari luar kota besok sore”
“pesantrenmu?!”
“panyak pengurus di sana. Ayolah mas... pulang besok ya!...”
Dia hanya tersenyum menjawab rengekku. Ku peluk kembali tubuhnya, menikmati hangat dalam melodi jantungku yang tak terkendali, nyaman rasanya. Sangat nyaman sekali... kenyamanan yang tak pernah ku dapat dari suamiku sendiri, kenyamanan yang ku harapkan dari sebuah pernikahan namun terhalangang perasaan dan berakhir pengabdian. Aku terus memeluknya dengan erat, tanpa sehelai kain. Kami masih berpadu dalam ranjang.
“sampai kapan sayang” tanyamu mengalun menggugah ketenanganku.
“apanya?!”
“semuanya.hubungan kita yang seperti ini?!”
Aku enggan menjawab tanyanya. Dalam bisu, makin ku benamkan kepalaku dalam peluknya.
“aku takut kamu makin menjdi canduku, aku takut makin terjerat dalam kondisi ini. Aku juga ingin menikah sayang”
Aku cemburu kau mengungkapkan itu, tapi aku tak mau ini semua terakhiri. Karena aku tak ingin kehilanganmu, sama seperti saat aku menikah. Serta kau menjauh dan aku sangat tersiksa dalam rindu yang menggebu. Aku tersakiti dengan keadaan yang memaksaku tersenyum. Aku sudah muak dengan kebohongan serta terpaksa melayani suamikudengan segala kebutuhan psiokologis, biologis serta tetek bengeknya. Karena aku tidak dalam ketulusan hati.
“menikahlah... “
Lantas hubungan kita”
“biarkanlah seperti ini.” Ku jawab dengan enteng segala tanyanya.
“ kau gila sayang!.. kau perempuan yang terhormat dari suami yang di hormati. Tak layak kita melakukan semuanya terus menerus”
“kau kira hidupku normal sayang?!... kehidupanku yang membuatku gila. Aku harus patuh didalam keterpaksaan keadaan pengabdianku. Aku harus tersenyum pada semua lingkungan kehidupanku meski sebenarnya aku menangis pada senyum itu. walaupun segala materi tercukupi... hati ku masih sepi. Jika aku bisa menukar pada tuhan segalanya dengan dirimu. Akan kutukar kehidupanku saat ini hanya untukmu... hanya untukmu...” tangisku mengalir sering lugas kemuakkanku, hanya dengannya aku bisa berkeluh kesah. Hanya dia yang mampu membendung gejolak batinku. Batin yang mulai membabi buta.
“sudahlah... sudahlah... jangan menagis sayang. aku akan selalu ada untukmu,,, akan selallu ada”
***
Itulah terakhir kita bertemu kasih,,, mengucapkan janiji untuk selalu ada untukku namun kau tak mengunjungiku juga sampai saat ini. Kabarmu pun tak singah di ponselku, bahkan teman-temanmu sengaja menghindar ketika ku tanyakan dirimu, aku tak tau harus tuahkan rindu pada siapa...
Sengaja ku menyibukan diri dengan santri-santri suamiku. Namun semuanya percuma... aku tak mampu menepismu dari mimpi-mimpiku, bahkan ketika hubungan intim dengan suamiku pun. Aku selalu melihat dirimu di sana.
Kasih... sudah lima bulan kita tak bertabik, rumah yang kita kontrak untuk pertemuan kita pun sangtlah terlihat kau tak pernah berkunjung disana. dimana kamu?!... tahukah kau aku nelangsa pada rasa dan ini amat sangat tersiksa?!... aku merindumu kasih, amat sangat merindukan hadirmu untuk menenangkanku. Kamu dimana?! Tak inginkah kau menjumpaiku dalam ketersiksaan rasa ku?! Tak inginkah kau memeluk untuk meredakan kebencian pada kehidupanku?!... kasih sapalah aku dengan sedikit kabarmu, meskipun hanya sedikit kata. Itu cukup untukku merasa kepemilikanku terhadapmu.
“ummi sudah bangun?!”
“iya abah” aku tersenyum amat sangat manis untuk menyambut sapa pagi suamiku.
“bergegaslah ke kamar mandi, ambilah air wudlu sayang. Waktu subuh akan habis”
Dia mengecup keningku. Namun tetap terasa hambar... tak ada kehangatan seperti kecupanmu kasih, bahkan aku amat risih terhadap kemanjaannya kepadaku.
“iya bah. Ummi mau ambil wudlu dulu”
Aku hanya mampu menurut. Menurut segala kehendaknya, aku tak mampu membangkang terhadapnya, segala mintanya, aku pun siap melakukan. Cacatkah aku sebagai seorang istri?! Ku rasa tidak... bukankah aku memenuhi dalam kehendak suami?!... bukankah dia sendiri yang tak menanyakan kehendakku sewaktu menikah. Arghhh!... sudahlah, tak ingin aku berkelanjutan dalam penyesalan pilihan orang tuaku.
***
“yai lukman melamarmu nduk”
“samirah belum ingin menikah bu...”
“kamu mau menunggu apa?! Teman-teman mu sudah banyak yang menikah. Kamu tidak malu masih lajang?...”
Tak mampu ku membantah perkataan ibu. Dalam agamaku ridho seorang ibu adalah ridho tuhan, aku tak tau harus berkata apa. Dengan apa ku harus memtahkan keinginannya... aku tak mampu memilah kata. Dan ibu terus bercecar dengan wejangnnya...
“dia berkecukupan. Mengerti agama, bahkan pemilik pesantren. Ibu yakin dia akan mampu membahagiakanmu, ibu ingin kamu memiliki kehidupan yang sempurna anakku. Kamu termasuk orang yang beruntung di antara teman-temanmu jika menikah dengannya”
Ibu membujukku dengan lembut, menawarkanku segala kemungkinan kebahagian pada cara pandangnya.
“tapi bukankah ibu tau aku masih berhubungan dengan ilham?! Nduk mencintai ilham bu. Nduk amat sayang dengannya”
“nduk,,, cinta itu bisa dibangun dalam pernikahan. Ibu juga dulu sepertimu. Bahkan ibu tak mengenal sama sekali dengan pilihan nenekmu (yaitu ayahmu), namun kamu bisa lihat nduk... ibu bahagia toh dengan ayahmu?! bahkan pernikahan ibu langgeng sampai saat ini. Lagi pula apa yang kamu tunggu dari ilham? Dia masih kuliah... dan belum tentu suatu saat nanti dia dapat pekerjaan yang cukup untuk mengidupi mu.”
Aku tak mampu bersikap ketidak sepakatan dengan ibu ku... dan aku hanya bisa diam... diam membeku dalam bisu.
***
Ku lihat matahari mulai meninggi, tapi pikirku masih tetap tentangmu kasih...
Semakin kau tak berkabar... semakin ku terjerat dalm nelangsa kehidupanku yang ku jalani, ayo lah sayang!!! tengok aku atau sekedar mengirim kata, agar sejenak aku merebahkan kamuflase sikapku ini.
Aku mampu bersikap sebagai istri sesungguhnya hanya denganmu, kamu tau?! Aku juga ingin berkabar sesuatu... aku hamil! Umur kandunganku pun sudah 5 bulan. Tak inginkah kau mengucapkan selamat dan mecium perutku?! Aku tak tau ini anak siapa, dari suamiku atau dari dirimu. Tapi ku harapkan ini anakmu sayang... semoga ini hasil buah cinta kita, karena aku akan lebih menyayanginya jika benar ini anakmu dan mirip dengan mu.
Kau tau kasih?!... amat nelangsa hidupku tak menemukanmu pada kebekuan rasaku. Telah kau temukankah perempuan lain selain diriku? Kasih... datanglah, cairkan kebekuan hati ini yang berakhir kamuflase kehidupanku.
NB : maafku untuk seseorang karena telah mengabadikan kisahnya dalam narasiku dan cara pandangku....
No comments:
Post a Comment