Lelap sekali ia dari tidur
lelahnya,,,
Wajah pucat nan polos,
menyiratkan akan kemuarnian seorang puan tanpa alas kecantikan apa – pun. Kulit
manis langsat memancarkan pesona tersendiri tanpa sebuah pengakuan pun juga
penegasan. Bak bayi dalam nina bobonya, tenang ia tanpa rengek seperti tadi, di
saat penjemputan dari stasiun pemberhentian.
Senja…
Itu sebut nama perempuan pulas di
sisiku kini. Bertikar karpet utuh dengan gaun muslimnya, bergelora kini ia
melaju mimpi.
Karena seringai,,,, bias ku amati
menghias dari mimic wajah lembutnya.
Ingin sekali benakku
menjemputnya!!!...
Bahkan amat sangat teramat ingin,
membelai rambut berbalut kerudung itu, mengecup kening serta membisikan ia kata
manis dari pujangga akan sebuah kerinduan,,,
Rindu yang amat mendalam dari
keterbatasan jarak pandang,,,
Tapi tidak kulakukan senja,,,
aku berjanji menjaga mu dalam utuh. Karena kaulah
lambang kesucian dari berbagai yang suci,
meski ruang ini hanya kita berdua…
***
“sudah lama nuggu senja?!”
“tidak juga ndra,,, seperti
saya kabarkan satu jam yang lallu via mesage. Bahwa saya sudah sampai pada stasiun ini”
“adudududu,,, maaf senja. Kamu harus nunggu lama sampai satu jam.
Ini si pitung udah bikin aku telat
jemput kamu!!...”
“si pitung?!”
“oh,,, iya. Hehehe,, kenalin.
Pitung nama motor bututku ini.”
“kau ini ndra,,, ada-ada aja,
segala motor di kasih nama”
“eee,,, bukan sembaarang motor
loh senja,,, !!!...”
“iya deh,,, udah ah bahas motornya,,, kapan kau mau ngajak
saya pergi?”
“o iya,,, kita mau kemana?”
“aku ikut,,, terserah kau”
“kamu suka apa senja?”
“ segala hal tentang arkeologi ”
“ wah,,, berarti kamu datang pada
kota yang tepat.”
“ ya saya paham,,,”
“ tapi besok aja ya?!... kamu
pasti lelah dari perjalanan panjang selama 9 jam”
“ di kreta aku tidur ko ndra,,,
lagi pula aku tidak punya waktu lama. Besok juga pulang”
“ wow!!!,,, super sekali dari
perjalanan panjang hanya demi waktu yang sebentar”
( Laju santai mengiringi
perjalanan mereka. bercerita panjang andra pada senja terhadap tempat- tempat
bersejarah yang mereka lallui.
Tak ada balas cakap dari sang
empuan yang duduk di belakangnya. Entah sibuk dalam pengamatan ataupun sengaja mendiamkan diri dari sebuah keterangan
andra,,,
Yang terllihat, senja tak luput
dari pandang bidang datar pundak pengendara motor yang di depannya. )
“di kota ini bukan kah ada menara nol
kilometer ndra?”
“iya,,, kamu sudah pernah ke sana
senja?...”
“aku ingin kesana ndra,,,”
“tapi jauh senja,,, kita akan
memakan waktu dua jam dari sini. Aku takut kamu terlallu lelah dan nantinya
jatuh sakit”
“ayo lah ndra,,,, bawa saya ke sana. ”
“OK…. Kamu memang keras kepala.”
“seandainya tidak keras kepala, saya tidak akan menemui kau di sini….”
“maksud mu?”
“tidak ada,,, dan tak usah kau
pedulikan.”
“ya,,, sudahlah”
(andra melaju dengan setelan gas
kencang,,,,)
“ kita sampai senja,,,”
“ iya ,,,, ayo naik ke puncak
menara”
“kamu serius?...”
“ saya punya wajah memang
terlihat bercanda?!,,, tapi terserah
kalau kau mau di sini”
“tapi itu tingginya 225.000 M senja… dan hanya ada
tangga di dalamnya !!!....”
(senja berjalan santai
meninggalkan andra. Serta dengan berat hati andra pun menyusulnya,,, tangga
demi tangga terlewati, cukup lama mereka mulai mendapati puncak menara. Wajah
senja datar, tidak menggurat lelah atau pun keluh dari tangga yang ia tapaki.
sedangkan andra mulai duduk di tengah bersender daun pintu ujung menara
berligkar pagar tumpukan batu. Usai dari nafas panjangnya andra mulai bercecar
kembali menceritakan segala hal tentang pengetahuannya pada menara itu)
“kau tau senja?! Menara ini di
buat ol….”
“oleh ratu semar ayu bukan?”
(senja memotong kata andra)
“ratu yang di angkat tanpa
kepemilikan nasab dari sang raja juga tanpa kerajaan. Menara ini pun juga di
buat oleh sumbangsih tenaga penduduk sekitar dari tumpukan batu dan perekat putih telur, ketika sang ratu mengatakan sebuah harapan
pada murni perempuan yang ada selallu di sampingnya. Murni pun memberitakan
dari mulut ke mulut. Serta timbullah sebuah inisiatif dari bannyaknya orang
untuk perwujudan menara ini. Ratu semar ayu memiliki keuletan tanpa pamrih
untuk saling menolong, tak pernah peduli bagaimana laparnya atau pun tak
kecukupan sandangnya. Pun juga tujuan sang ratu pada bidang menjulang tinggi
tempat ini, ia hanya ingin melihat atap-atap rumah di sekelilingnya. karena
jika tidak ada jerit yang terbawa angin. Ia mulai bisa tertidur pulas untuk
waktu istirahatanya. Serta kebijakasanaan semar ayu membuatnya di angkat menjadi pemimpin tanpa kesepakatan
atau pun juga pengakuan tertulis dan ungkapan. Namun ketika daerah ini mulai di
kuasai oleh raja cendana peteng,,, menara ini pun di klaim olehnya yang di
abadikan pada tulisan arjo pujangga. Akhirnya ratu semar ayu,,, hanya menjadi babad peteng
dongeng orang tua untuk menina bobokan anak-anak,,, tapi aku sangat percaya
keberadaan ratu semar ayu…”
“ kenapa?!”
“coba sini kau pegang batu ini….”
“bukan yang ada di tangan ku
andra,,,,”
“tapi lihat kebawah kaki ku,
tepat yang ada di kelingking jari ujung kaki”
“apa ini?... ukiran?,,,
loh??!!!... sebuah perkampungan, tapi kecil sekali? Dan kita tidak bisa melihat
dengan mata tanpa meraba,,”
“ya,,, itu ukiran ratu semar ayu
pada pengamatannya di sini, bukan hanya di bagian ini. Tapi melingkari menara.
Hal ini berbeda dengan apa yang di tuliskan oleh arjo pujangga. Ia mengatakan
bahwa raja cendana peteng bertujuan mengatur strategi perang dengan tempat
tidak terjangkau di sini. Serta membuat pengamanan di tengah kota kerajaannya,
maka terbentuklah nol kilometer ini. Yang berarti awal kilo dari berbagai arah
dengan jarak yang sama.”
“ tapi bagaimana kalo memang raja
cendana peteng membuat ukiran ini?”
“ perbuatan seorang raja untuk
sejarah tidak akan luput dari abdi tulisnya ndra, lagi pula ukiran itu jelas
sekali goresan seorang perempuan.”
“wow!!!... tau banyak hal rupanya
kamu tentang tempat ini.”
“saya selallu suka bepergian ke
setiap tempat ndra,,, terutama mengunjungi situs sejarahnya. (senja tersenyum
sinis) karena memang… saya selallu ragu dengan sejarah tertulis. Masih banyak
yang menitipkan ke AKU an nya di sana.”
“ dan kali ini tujuan mu ke sini
adalah menara ini? …”
“saya sudah pernah ke sini
sebelumnya dua tahun lallu.”
“lantas dengan tujuan apa ke sini?!”
“harus saya menjawabnya?”
“tidak… kalau kamu keberatan!!...”(andra tersenyum
mengejek)
“saya Cuma butuh kesepakatan
ndra…”
“tentang hal apa?”
“kamu yakin menanyakan itu?....”
(senja menatap tajam ke arah andra)
***
Aku tau senja,,,
Tanya mu pada menara itu tak ada
keraguan. Tatap mu menajamkan ketekadan dari ketentuan hati,,, dan seperti kata
al hallaj pula “tak ada yang salah dalam cinta”.
Namun aku sadari kita di
peretmukan dalam waktu yang kurang tepat bukan?!. Karena ku lihat tidak
kudapati kamu dalam kesendirian, pun juga diriku yang sudah memiliki seseorang.
Lallu kita harus bagaimana?... haruskah mengegoiskan cinta tuk menuju kasih
seutuhnya?... namun ada di sisi kita yang harus tersakiti.
Merancang hidup memanglah tidak
mudah senja…
Harus ada lirik – lirik yang kita
korbankan demi penghidupan lainnya juga. Bukankah bisa di katakan manusia
ketika kita mampu menolong lainnya meski harus berkorban?... atau memang sisi
kemanusiaan ku yang salah…?!
Entahlah senja…
Kamu memberikan pilihan dalam
kerumitan pada ketentuaannya,,,,
Senja….
Negoisasi kesepakatan mu
menuntutku dari ketentuan yang tak bisa ku aliri arahnya. Jika seandainya bisa
ku minta. Biarlah segala menjadi keberadaannya. Kalau pun alam mengamini sesuai
keinginan,,, maka biar ku tutup kehidupan ku seperti nama mu. “senja” Menjemput pulas,,,, tidak lagi
menyibukan diri dari ambisi siang.
Andai alam memang merestui
senja….
Harapan ku utuh dalam doa di luar
kekuasaan…
***
“ kita dalam kondisi yang sama bukan?...
bagaimana bisa kamu meminta kesepakatan ku di atas jalinan lainnya?”
“tidak dengan saya ndra.
Segalanya tidak sulit…”
“ kamu tega menyakiti
pasangannmu.”
(senja tersenyum halus. Seringai
manis itu menjawab tanpa suara.)
“dia mencandui ku,,, bagaimana
bisa aku melepaskan dengan banyak hal yang ia beri.”
“ saya mengerti,,, berarti ini
pula kesepakatan kita bukan?”
“ tidak senja,,,, aku pun
menyambut rasa mu.”
“kau punya hubungan dengannya
berbeda dengan saya ndra. Demi memuaskan ambisi tentang segala pengetahuan
tentang arkeologi, saya sengaja menjalin hubungan yang di mintanya. Nabil adalah seorang pekerja di departemen kebudayaan.
Serta karena dia bisa mengakses seluruh informasi situs sejarah. Saya pun meng iya kan status
pacaran dengannya.”
“kenapa harus berpacaran?”
“kamu kira ada jalinan
persekawanan antara laki-laki dengan perempuan pada kemurniannya?!... kecuali
hubungan social logis mungkin. Itu pun
juga 1 banding 10 ndra,,, di luar ketertarikan masing-masing keduanya. Itu pula
kenapa harus di iya kan agar saya lebih mudah memintanya memberikan informasi.
hal yang kecil kemungkinannya bukan?! Seseorang menolak suatu permintaan
kekasihnya. Lagi pula aku dan nabil sekarang sudah selesai.”
“puan yang cerdas… serta
kepintaran mu pula bukan?! yang
memintaku menjadi pendamping mu?”
(senja terdiam pada renungnnya,,,
tak ada jawab dari lentik bibir itu. Cukup trawang angan melambung di kerlip
bintang lampu penduduk sekitar menara)
“tidak ada ketertarikan apa-pun
dari saya untuk mu. Tidak pula ada harapan agar
kau mencukupinnya dari segala
hal,,, ini sudah wilayah rasa dalam penguasaannya ndra. Bagaimana logika
akan memilah pada penlaran di luarnya.”
“kamu ingin aku meninggalkannya
senja?”
“tidak,,, aku seorang puan ndra,
mana bisa aku membangun altar kebahagiaan ku di atas penderitaan perempuan
lainnya”.
“lallu aku harus bagaimana?”
“saya terlallu tergesa mungkin
ndra…. Di hadapkan pertanyaanmu pun saya masih belum menyiapkan jawabannya.”
(wajah senja mulai datar… tenang
kini ia dari gejolaknnya rasa mengaharapkan sang empunya. Namun andra selallu paham bagaimana
menguasai perbincangan)
“malayunesia Negara kita ini memang
masih banyak menyimpan rahasia di dalam bangunannya bukan senja? Itu pun bisa
memahamkan kita regenerasinya bagaimana majunya peradaban masa lampau.”
“benar ndra,,, tapai sayangnya
manuskrip yang tersedia sudahlah bukan senyatanya. Aku juga suka kota nuansa
ini… di tengah moderenisasi global tempat ini masih memegang budayanya… padahal
nuansa sudah termasuk kota sejahtera”.
“mari pulang senja,,, sudah jam
tiga pagi, kamu harus istirahat kan”
“pulang kemana?”
“ke kost ku saja nggak apa-pa kan?”
“hah? Kita hanya berdua? ”
(mata senja mendelik… lallu
berfikir sejenak)
“kamu masih percaya saya
laki-laki baik bukan?”
(andra tesenyum sambil
meyakinkan)
“mmmm,,, tidak yakin si
sebenarnya (senja tersenyum mengejek) tapi ayolah…. Badan saya juga sudah
terasa sakit semua”
***
Lihatlah dirimu sekarang senja,,, dalam tidur rona ayumu pun
memancar dalam sendirinya,,,
Mimpi mana yang harus kita lelapkan?!... atau biarkan angan
terpendar dalam layaknya cahaya?!... cukup berjarak 2 meter ruang kamar tanpa
batas ini, biarkan aku memuaskan pandang dari jarak kerinduannya tanpa harus ku
ungkapkan pun juga menyentuhmu senja…
***Laju kreta…
Pagi mulai menyinari, menleusup
lorong-lorong yang tak mampu kita
lallui. Mungkin di bagian sisi beberapa orang merentangkan tangan dalam sambut
sang mentari…
Tapi tidak di bagian diriku,
masih teraba kelam didalam terang. Bernuansa gelap pada hingar menuju siang,,,
Namun kucukupkan segala risau dengan bilasan air
pada wajah tertutup doa.
Ndra,,, hari ku tanggalkan kota
nuansa setelah ku puaskan sambut dari tatap yang haus akan pemiliknya. Walau kaki ini melangkah tapi
rasaku tak tanggal meninggalkan singgasananya. Meski akhirnya ku tau dari
segala jawab mu, yang kupunya tak tersambut sebagaimana ombak menepi pesisir.
Beberapa pecinta memilih kata
sakit ketika menemui kejadian seperti ini, tapi tidak dengan ku ndra…
Kau bercecar tentang bagaimana harus
mengatur rasa pada ketentuan bahkan meminjam kata aempati budaya kemanusiaan.
Tapi kau tak pernah tau bukan ndra?! Bahwa dalam rasa tak mengenal kata aturan…
Mau dimana pun kamu menempatkannnya pada kehidupan bukanlah alat ukur…
*** senja mematahkan
nomer kartu ponselnnya, mengibur diri pada pepohonan yang di lallui***
No comments:
Post a Comment