Monday, June 18, 2012

aku gadis desa!!!....

sing-sing sang raja penerang nampak lelah...  mulai ia redupkan cahaya menyambut senja, pun juga aku yang enggan menikmati akan tawar ke tidak jelasan menuju pekat temaramnya. di kasur dengan cecer kertas berserakan di sekeling, ku  rebahkan badan untuk pulihkan tenaga. Ya!... meski di kamar kost tak nampak indah, di sini cukup nyaman pada pengistirahatkan gelembung gelembung ambisi dalam cecar.

Muka mulai ku tengadahkan di langit-langit kusam, mata terpejam  paksakan alam indah yang tak bisa ku temukan pada nyata.
selang satu jam, sang pemilik jiwa raihkan tangan. pada rayunya  aku bangkit dari pembaringan. rasa enggan ku tanggalkan tuk menikmati sebuah percintanaan yang kudapati ketenangan didalamnya.
sang hijab suci mulai membaluti, dengan kedua tangan terangkat bahasa qalbu menggebu melepas harap semu...
di nikmat percumbuan ku dengannya. dering mesage memanggil, ke asyikan itu akhirnya kututp salam, bisik lembut pun ku sisipkan. "sampai jumpa di akhir tenggelamnya matahari duhai sang kekasih hati..."
selesainya, Ku raih asal pengganggu itu. saat ku buka... ada nama bunda tertera dari sang pengirim pesan.  “ndo, emak kangen, mbah mu juga mulai tanya terus, kenapa kamu tak pernah pulang?... sibuk sekali ya jadi mahasiswa itu? Sampai-sampai jarak dari kost ke rumah Cuma setengah jam saja tak pernah ada waktu luang untuk pulang ke rumah, pulanglah samirah...”
lekuk urat wajah mulai menjadi satu. buahkan gumal mimik kedua bibir "heum,,, jika emak sudah memohon seperti ini, aku paling tak tega untuk menolak". ku tarikan jari pada tombol huruf itu... dan send... “iya mak, mirah pulang hari ini juga”
Tak menempuh jarak jauh, dengan scoter kesayangan, sampai pula aku di pojok daerah kabupaten caruban. Sebuah daerah di waktu masa kecil, masih ku sebut desa... karena jalanannya jika terkena tangis dari si gadis langit selallu mengabadikan jejak benda. pun juga hentak sang kaki-kaki  tak pernah senyap dalam riangnya. Namun nampaknya umur tak terasa berjalan cepat, sekilat tanah pertama ku berpijak  pula.
rumah kayu tertelan beton, permadani hitam lembut membalut alas putaran roda tunggangan,,,, ah,,, si desa ber evolusi kota akhirnya.
Sampai pada rumah. emak riang sekali dalam sambutnya...
“pasti capek kamu ndo, istrihatlah dulu, udah sholat ashar?”
“nggak terlalu capek mak, sebelum kesini mirah udah sholat ko”
“ya udah, sana kamu ke kamar dulu, nanti emak suruh si mbak (pekerja rumah tangga di rumah emak) bikin teh susu untukmu”
“nggak usah mak, aku bikin sendiri aja.”
Usai membikin minuman kesukaan dari masa kecilku, dengan Luntai kaki mulai ku tengok kamar yang sudah tak terhuni, masih tak berubah... rak buku di samping tempat tidur, serta boneka lama teman tidurku masih pada tempatnya. Namun rumah ini makin menjulang tinggi akibat renovasi tiga tahun lallu. Gaya kamar sederhana  kenyamananku masa lampau juga turut musnah, renovasi amat berlebih bagiku, kamar bak putri eropa desainnya. ranjang lama entah di buang kemana. kini terhiasi sebuah kasur dengan bad cover love pink cantik sekali,  kamar mandi di dalam, serta hanya dengan saut, si mbak membawa berbagai kebutuhan. Ya!... yang tersisa hanya boneka serta rak buku itu.
“ang  (panggilan penghormatan untuk kaka di daerah ini)  mirah, di panggil emak” aku tersentak dari ingatan kamar lampau pada kenikmatan teh susu ku.
“iya mbak, makasih nanti aku segera ke emak” aku menuju emak di ruang keluarga, di sana emak sedang bersantai menonton TV dengan ayah ku.
“sini nduk, nonton TV bareng emak” basa-basi emak memulai perbincangan. Aku duduk di samping emak, ayahku pun beranjak pergi, entah bergegas kemana, mungkin menyelesaikan suatu pekerjaannya.
“mirah, adek mu jamil sering bertanya, kapan kamu akan menikah?! (pertanyaan yang selalu ku dengar akhirnya terlontar pula) kekasih adek mu nampaknya mendesak untuk berumah tangga”
dalam keluarga ini saya tiga bersaudara, aku berperan anak pertama, jamil, serta ada si coco adek bungsuku. Jamil memilih tidak melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi. Baginya buat apa sekolah?! Ujung ujungnya Cuma pelengkap syarat buat mencari kerja. Jadi dari pada buang buang waktu, lebih baik dia langsung meniti karir untuk mengumpulkan uang, jarak antara aku serta jamil tidak terlallu jauh memang. Hanya selang 2 tahun, kini umurnya beranjak 21. Usai pendidikan menengah jamil di bekali emak sebuah rumah, serta toko toserba.
“kalau ingin menikah mendesak, jamil mendahului pun mirah tak keberatan mak”
“hust!.. pamali, apalagi kamu kaka perempuan, nanti tak laku kamu (emak mulai petuah mitos daerah). Kalau keputusan pacar kamu gimana? Kapan dia akan menikahimu? Sapa pacar kamu namanya?”
“mas pacul mak...”
“ya,,, si pacul itu kapan mau kesini?”
“dia msih sibuk kuliah mak”
“kapan dia lulus?”
“mungkin tiga tahun lagi”
“loh?! Lama sekali? Bukankah dia tiga tahun lebih tua dari mu?”
“iya mak, mas pacul terlallu sibuk dalam organisasi kemahasiswaan, jadi kelulusannya agak terhambaat” pacul adalah sesosok lelaki tambatan akhir dari tualangku, dia kawan berdinamka dari logika hingga hati nurani, sesosok pria yang amat sangat menghargai culture tradisonal. Karakter seperti ia amat jarang kutemui dari kaum intlektual di sekelilingku, semua rata rata penghamba moderenisme. Pria aktif dari universitas ternama di ibu kota(jakarta) kelahiran jambi tempat asalnya.
Cara pandang sama, serta kepribadian tak jauh berbeda, kita di persatukan karenanya, di pertumakan pun karena kesukaanku berkeliling daerah hanya sekedar memuaskan rasa ingin tahu akan mbudaya. Perbincangan singkat, berlanjut Via IT, hingga sampai saat ini.
Pertemuan kita terbentang keberjarakan...
“kenapa kamu menunggu ia yang tak pasti?, ndo perempuan itu makin lanjut usia makin tak menarik. Apa lagi kamu sempat menolak beberapa lamaran. Norma desa yang perempuan tak boleh menolak sebuah lamaran pun kau labrak... makin pintar, kamu tak ngerti pamali ndo”
“mak... ngapunten (maaf) biarkan mirah menentukan masa depan”
“sudahlah!... usaikan cepat kuliahmu, nanti emak ajari kamu bagaimana mencari uang dengan berwirausaha, hal itu lebih cepat kamu mengais uang dari pada menjadi pegawai negeri sipil”
“mak, aku tak ingin kerja!...”
“lah lantas?! Buat apa kamu kuliah?!,,, sayang sekali toh, kamu mendapatkan pendiidikan tinggi tapi nganggur di rumah, kalo begitu buang-buang duit sekali emak menyekolahkanmu tinggi-tinggi, emak menyekolahkanmu dengan harapan suatu saat nanti kamu tidak seperti emak, harus menguras tenaga ketika mencari nafkah nanti buat anak anakmu”
“tapi mak,,,,”
“sudahlah, makin pintar kamu makin punya alasan buat ngebantah nasehat emak, semua yang emak katakan itu demi kebaikanmu nanti”
Aku kecewa dengan just emak, entah kenapa rubah pola pikirnya sekarang, aku kehilangan emak ku. Dulu ia sering menasehatiku bagaiman cara mengabdi pada sang suami, memang ia pekerja keras, kebutuhan rumah tangga keluarga ini pun selain dari ayah, emak juga meniti karir wirausahanya. emakku Cuma lulusan sekolah dasar, ayah juga, sama halnya cara pandang emak, di desa ini juga amat sangat jarang yang meneruskan jenjang pendidikan ke universitas, atau sekolah tinggi, mereka lebih memilih mengusaikan pendidikan serta bekerja di kota-kota besar, hanya demi membangun beton-beton megah bangunan seperti rumahku, seandainya ada yang meneruskan di perguruan tinggi pun, dia adalah sesosok yang di nujumkan menjadi tokoh besar, ya,,, minimalnya menjadi guru.
Dalam diam batin mulai merapal... mak!,,, aku hanya ingin menjadi wanita (wani noto lan wani di toto/ berani menata dan berani di tata) aku tidak berhayal sama ekali menjadi orang-orang besar yang mak impikan itu.tualangku akan belajar banyak hal serta mbudaya tiap daerah, itu hanya mempersiapkan diri untuk mendongengi anak-anakku di masa kecilnya nanti kelak,,, mimpi ku sederhana mak, aku hanya ingin benar-benar menjadi wanita.
“ya sudah mak, mirah pamit ke kamar” emak diam tak bergeming.
Di kamar, aku mulai memutar ingat perbincangan ku dengan kekasihku, aku pernah mengungkapkan kepadanya aku tak ingin bekerja, aku ingin mendidik anak-anakku dengan menanamkan watak di usia dininya,,, mengamati penuh pola lakunya serta menjadi kawan akan keingin tahuannya. Serta ku lihat kekasihku tersenyum. Ia berucap “ya dan suatu saat nanti kita akan menjadi orang biasa saja ndo,,, aku sepakat dengan impianmu, jika ku ijinkan kau bekerja pun mungkin hanya sekedar membuka toko di rumah, agar kau tak terlallu lelah serta membuat rumah hanya tempat singgah” aku sanggat merindukan dia saat ini. Dalam isakku, tangan meraih hp serta mengirim mesage... “mas, aku mencintai mu” mulai ku rebahkan kembali badanku pada sikologis serta kamar yang jauh berbeda.

No comments:

Post a Comment