Sunday, August 21, 2011

Cecara rasa bukit senja



Mewarnai senja pada ujung kota, menggabut kabut yang gemelut dari balik kemuningnya, senja meramu bias siang yang kian sirna, menjemput malam dalam pekat yang tandanng, semua bergemuruh, riuh menikmati apa yang ia pandangi dari bukit senja. Sedang aku dan kau hanya menumpah ruah cecar rasa di ujung senja.
Senja mulai menawarkan adanya, merengkuh dengan kilau-kilau cahaya keindahan, manusia dengan kekaguman hanya puas akan pandangan warna-warna senja, didalamnya Kami bergelut kabut, memaham kan rasa yang makin tak terpahamkan dengan kata.bukan tentang duka namun menggilas luka, tidak tentang bahagia tapi tabikan suka. Ah!... pada ujung senja hanya pekik rasa yang tersisa, dari kemuning yang mulai sirna, bertabik bokhlam warnai kota.
“aku selalu namai  bukit senja (kau berkata membuka cerita saat itu) semua orang selalu berdatangan ketika senja tiba. Heum... tapi entah kenapa? Nama tempat ini bukit bintang bukan bukit senja”
“ mungkin orang menafikan senja” aku tak berkata banyak, cukupkan sebuah kalimat. Tanggap tanya dari mulut yang berbusa. Pandangaanku tak lepas dari bukit senja. Menikmati kemuning mewarnai kota.
“kau benar!... mungkin orang sengaja menafikan senja, namun merengkuh pada kenikmatan tawaran keindahannya. Seperti orang yang memilih di tengah peraduan ketidak jelasan. Mereka melakukan tapi memandang hina. Menilai tapi tak menghakimi diri. Seperti senja ini, antara siang dan malam dia memulai adanya”
“maksudmu?!... aku tak memahami” kau tersenyum tampa jawab sebuah tanya. Hening menyelimuti kita yang bernarasi. Tatap kembali menjemput kota bias seperti mati.

No comments:

Post a Comment